Orang seringkali menilai dengan parameter subjektif dan melihat orang lain dengan kacamata kuda sehingga sering kali terjadi salah paham dan tidak bertindak dengan arif dan bijaksana dalam menyikap sebuah peristiwa. Hal ini bisa terjadi karena minimnya kesadaran empati dalam memahami kelemahan, kesalahan, kekurangan, kejahilan, dan kenaifan orang lain.
Rasululloh SAW sendiri memberikan contoh empati yg sangat baik.
Syahdan, satu waktu ada orang Badui tiba-tiba kencing di dalam masjid. Hal ini membuat para sahabat bereaksi dan terpancing emosinya. Apa yang dilakukan Rasululloh SAW? Apakah beliau ikut terpancing emosinya dan memarahi si Badui? Ternyata tidak!
Beliau membiarkan si Badui menyelesaikan hajatnya, kemudian beliau meminta para sahabat membersihkan najis akibat ulah si Badui itu. Usai dilakukan pembersihan, Rasululloh SAW memberikan penjelasan kepada para sahabat bahwa Arab Badui tersebut tidak tahu mengenai larangan kencing di dalam masjid, sehingga tidak perlu disikapi dengan emosi yg berlebihan.
Justru tindakan Rasululloh SAW ini menghindari 3 mudharat: Pertama, si Badui terusik hajatnya; kedua, saluran kencing si Badui terganggu kelancarannya, dan ketiga area najis meluas karena si Badui panik saat menuntaskan hajatnya.
Saat ini, sikap seperti Rasululloh SAW sangat sulit ditemukan, jika tidak ingin dibilang mustahil. Pemimpin terkadang malah memancing emosi rakyat biasa yg pemahamannya tidak terlalu mendalam/kurang berilmu. Akibatnya kerusakan terjadi di mana2 hanya karena masalah sepele serta tidak ada keinginan untuk berempati.
Allah SWT berfirman,“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,” (Al Fath (48): 29).
Itu sebabnya Rasulullah SAW begitu dicinta umatnya dan disegani musuh2nya. Beliau begitu mengedepankan sifat kasih sayang, mempermudah umatnya dalam menjalankan syariat agama, lebih memilih bersikap lemah lembut namun jika diperlukan bisa bersikap tegas. Beliau bisa marah namun sikap pemaafnya lebih banyak dan bisa dirasakan.
Bahkan Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Abu Musa dan Mu’adz pada saat keduanya hendak ke Yaman untuk berdakwah,”Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah kau persulit.”
Sebagai pewaris Nabi, maka para da’i, mubaligh, ustadz, ulama, bahkan guru agama juga mestinya memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk menjalankan perintah agama sebaik-baiknya. Tentunya, mereka mesti dilengkapi dengan ilmu yang cukup di samping juga kearifan dalam bersikap. Dengan demikian akan muncul sikap toleran sehingga akan selalu ada banyak solusi yg bisa dijadikann pilihan apabila mereka menemui masalah.
Rasulullah SAW juga bersabda,“Hendaklah kamu bersikap lemah lembut dan jangan bersikap kasar. Sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut itu ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak pula ia lepas dari sesuatu kecuali mengotorinya.” (HR Muslim)
Rasululloh SAW sendiri memberikan contoh empati yg sangat baik.
Syahdan, satu waktu ada orang Badui tiba-tiba kencing di dalam masjid. Hal ini membuat para sahabat bereaksi dan terpancing emosinya. Apa yang dilakukan Rasululloh SAW? Apakah beliau ikut terpancing emosinya dan memarahi si Badui? Ternyata tidak!
Beliau membiarkan si Badui menyelesaikan hajatnya, kemudian beliau meminta para sahabat membersihkan najis akibat ulah si Badui itu. Usai dilakukan pembersihan, Rasululloh SAW memberikan penjelasan kepada para sahabat bahwa Arab Badui tersebut tidak tahu mengenai larangan kencing di dalam masjid, sehingga tidak perlu disikapi dengan emosi yg berlebihan.
Justru tindakan Rasululloh SAW ini menghindari 3 mudharat: Pertama, si Badui terusik hajatnya; kedua, saluran kencing si Badui terganggu kelancarannya, dan ketiga area najis meluas karena si Badui panik saat menuntaskan hajatnya.
Saat ini, sikap seperti Rasululloh SAW sangat sulit ditemukan, jika tidak ingin dibilang mustahil. Pemimpin terkadang malah memancing emosi rakyat biasa yg pemahamannya tidak terlalu mendalam/kurang berilmu. Akibatnya kerusakan terjadi di mana2 hanya karena masalah sepele serta tidak ada keinginan untuk berempati.
Allah SWT berfirman,“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,” (Al Fath (48): 29).
Itu sebabnya Rasulullah SAW begitu dicinta umatnya dan disegani musuh2nya. Beliau begitu mengedepankan sifat kasih sayang, mempermudah umatnya dalam menjalankan syariat agama, lebih memilih bersikap lemah lembut namun jika diperlukan bisa bersikap tegas. Beliau bisa marah namun sikap pemaafnya lebih banyak dan bisa dirasakan.
Bahkan Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Abu Musa dan Mu’adz pada saat keduanya hendak ke Yaman untuk berdakwah,”Gembirakanlah dan jangan kau takut-takuti. Mudahkanlah dan janganlah kau persulit.”
Sebagai pewaris Nabi, maka para da’i, mubaligh, ustadz, ulama, bahkan guru agama juga mestinya memberikan kemudahan bagi umat Islam untuk menjalankan perintah agama sebaik-baiknya. Tentunya, mereka mesti dilengkapi dengan ilmu yang cukup di samping juga kearifan dalam bersikap. Dengan demikian akan muncul sikap toleran sehingga akan selalu ada banyak solusi yg bisa dijadikann pilihan apabila mereka menemui masalah.
Rasulullah SAW juga bersabda,“Hendaklah kamu bersikap lemah lembut dan jangan bersikap kasar. Sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut itu ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak pula ia lepas dari sesuatu kecuali mengotorinya.” (HR Muslim)