MENTERI (KONDOM), PENYAIR TAK BERKONDOM

ARTIKEL ISLAM - Sebagaimana tulisan yang termuat dalam media onlione (ROL), rasanya sangat menggelitik mata untuk harus melihat dan membacanya yang ternyata  isinya sangat mencengangkan. Apakah seperti ini moral bangsa ini ? untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel berikut yang ditulis oleh : Nasihin Masha.
Dekonstruksi. Itulah awalnya. Hipokrit, itulah jalannya. Maka kita pun menyaksikan kerusakan, ironi, dan kontradiksi di ujungnya. Mendekonstruksi memang lebih mudah daripada mengkonstruksi. Orang-orang malas lebih suka menjejaki jalan lembek dekonstruksi dibandingkan jalan mendaki mengkonstruksi.
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh fenomena puncak kegilaan. Ketika kaum dekonstruksionis dan hipokrisi terbuka selubungnya. Kecerdasan, ketokohan, dan jalan panjangnya hanyalah kepalsuan akrobat kata dan sulapan langkah. Ketika kekuatan jaringan dan perisai kelembagaannya tiba-tiba tak berdaya oleh tersingkapnya keaslian. Itulah yang kita saksikan pada pekan kondom nasional dan laku seks bebas seorang penyair. Dua kejadian dalam koinsiden waktu ini berakar pada lumpur yang sama.

Pertama, ada kampanye mencegah HIV dan AIDS dengan membagikan kondom ke pelajar dan mahasiswa. Juga ada bus bercat merah dan gambar artis bintang iklan kondom. Pembagian itu bahkan ada yang diimbangi kata-kata silakan dicoba dengan pacar. Kampanye ini berubah menjadi mempromosikan kondom dan menganjurkan seks bebas. Bukan lagi mencegah HIV dan AIDS. 

Apalagi warna dan bintang itu sama dengan brand image merek kondom tertentu. Selain itu, kondom yang dibagikan bukanlah kondom produk dalam negeri tapi produk impor. BUMN produsen kondom kalah saat tender proyek bernilai sekitar Rp 24 miliar tersebut. 

Pemerintah jelas-jelas telah dibajak swasta. Bukan saja menjadi salah arah kampanye tapi juga menjadi promosi merek kondom tertentu. Semua itu menjadi sangat mencurigakan. Tapi saya tak yakin hal ini akan berujung di pengadilan. Apalagi pemerintah sudah membantah bahwa mereka terlibat. Artinya tak ada tender, tak ada dana APBN.

Kedua, seorang penyair dituduh melakukan perkosaan terhadap mahasiswi Universitas Indonesia. Saat ini korban dalam kondisi hamil tujuh bulan dan menuntut pertanggungjawaban. Namun upaya itu gagal sehingga mengadukan sang penyair ke polisi. Tuduhan perkosaan dibantah. Katanya itu suka sama suka. Selain itu sedang dalam proses untuk 'bertanggung jawab'. Dalam sebuah pernyataannya, sebuah lembaga yang menaungi sang penyair menyebut kata patriarki sebagai faktor. 

Inti argumennya adalah kebebasan seks adalah urusan private dan ada kesiapan risiko serta kesetaraan gender dalam hal tanggung jawab. Ini diasumsikan jika tak ada unsur perkosaan dan pemaksaan. Jika patriarki yang disoal, maka kata tanggung jawab menjadi bermakna berbeda. Tanggung jawab tak mesti bermakna perkawinan.

Sejak dekade akhir 1990an, masyarakat kita diserbu oleh virus baru neoliberalisme. Sebuah paham yang menguat di akhir abad lalu. Individualisme dan liberalisme diutopikan dalam bentuknya yang sempurna. Tak boleh ada sekat yang menghambatnya. Peran negara dalam menjaga kebersamaan dan kohesi sosial harus dilucuti. Faktor-faktor lain di dataran masyarakat yang menghambat laju itu pun harus dihancurkan. 

Tentu saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat biasanya berujung di ajaran agama. Maka agama dijadikan musuh, tokoh agama dijadikan badut. Jalan yang ditempuh adalah mendekonstruksinya. Robohkan. Maka kita menemukan periode penghancuran sendi-sendi doktrin agama, terutama agama Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. 
Alquran digempur sebagai tak sakral lagi. Alquran bisa dikoreksi. Nabi pun digempur dengan beragam pelecehan dan penghinaan. Doktrin-doktrin dasar maupun ajaran-ajaran yang bisa diperolokkan dijadikan target, misalnya soal poligami, nikah beda agama, pornografi, dan seterusnya.

Para ulama yang berbeda dengan mereka menjadi sasaran. Dijadikan olok-olok, dan jika ada 'salah' maka akan dijadikan bulan-bulanan. Lalu kita mendapati diri kita tak lagi ada rasa hormat pada agama dan ulama. Apalagi para ulama kita masih terkena sindrom pasca-kolonialisme: kemiskinan dan keterbelakangan.
Politik bahasa pun dijalankan. Kontrol sosial diubah menjadi polisi moral. Padahal kontrol sosial merupakan mekanisme alami kehidupan sosial. Dengan cap polisi moral maka kita tak berhak lagi untuk melakukan kontrol. Masing-masing urus diri sendiri. 

Tetangga kita berzina silakan, tetangga kita kumpul kebo silakan, tetangga kita pesta miras silakan, tetangga kita porno silakan. Itulah utopi individualisme yang sempurna. Padahal, semua perjuangan kaum neoliberal itu sama sekali tak ada manfaatnya buat bangsa ini. Gerakan mereka sangat berbeda dengan pemikiran-pemikiran Tan Malaka, Bung Karno, Cak Nur, maupun Gus Dur.

Kampanye pekan kondom memiliki pemikiran yang searah dengan kaum neolib tersebut. Memang harus diakui kehidupan seks bebas sudah demikian mengkhawatirkan. Padahal ada bahaya mengintip di baliknya. Salah satunya adalah penyebaran HIV dan AIDS akibat berganti-ganti pasangan. Karena itu pakailah kondom. Namun niat baik itu tercemari oleh cara yang salah. 

Alih-alih mencegah HIV dan AIDS malah mengkampanyekan kondom dan seks bebas. Tentu saja hal itu dilatari oleh realitas seks bebas yang kian berbiak. Realitas itu kemudian diterima sebagai kenyataan dan biarlah itu urusan private. Jadi tak mengapa ada pekan kondom yang bodoh semacam itu.

Semua pemikiran itu pada akhirnya kembali ke paham liberalisme klasik. Thomas Hobbes sudah mengingatkan tentang Leviathan, sebuah monster. Atau seperti pepatah Latin homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi yang lainnya. 

Dan akhirnya, survival of the fittest, hanya yang kuat yang akan menang. Sebuah teori sosial dengan mengadaptasi teori evolusi Darwin. Kita menyaksikan ada upaya memenangkan dengan beragam perangkat sosial yang dimiliki untuk memenangkan relasi laki-laki dan perempuan lewat wacana, kharisma, dan kuasa. Maka kita menyaksikan ironi. Ketika semua hal ditasbihkan sebagai urusan private, namun nyatanya muncul pembelaan dari keluarga dan kelompoknya.

Tentu kita tak ingin masyarakat kita saling memakan sesama. Di sinilah pentingnya tata nilai yang menjadi basis kontrol sosial. Kehidupan kita bukan untuk dipertaruhkan secara serampangan. Seperti kata Hobbes, kita perlu kontrak sosial karena kita bisa menjadi leviathan.